KALTIMNUSANTARA.COM- Pembaruan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sejatinya telah menjadi rencana pemerintah sejak lama.
Karena itu hukum pidana Indonesia dilakukan reformulasi sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Namun, rencana tersebut berbanding terbalik dengan upaya Pemerintah yang seharusnya menghadirkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berkualitas dan pro demokrasi.
Terdapat pula pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memunculkan kontroversi, perdebatan, dan polemik dimasyarakat. Pada Hari Selasa, 6 Desember 2022 pukul 10.50 WIB, DPR RI mengesahkan
RKUHP dalam Paripurna DPR RI yang mana dalam RKUHP ini masih berisi pasal pasal kontroversi dan berpotensi merugikan masyarakat, anti-demokrasi, membungkam kebebasan pers, hingga mengatur ruang privat publik.
Hal ini menandakan bahwa sejak awal tidak adanya itikad baik dari Pemerintah dan DPR dalam mendengarkan aspirasi rakyat. Penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah telah dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sipil, akan tetapi pemerintah abai terhadap kritik dan saran yang dilayangkan.
Mereka seakan-akan tutup mata dan telinga terhadap suara rakyat. Penyusunan RKUHP yang dibuat tanpa adanya transparasi dan partisipasi publik sudah menjadi awal pembungkaman demokrasi dan membatasi ruang gerak masyarakat.
Dari beberapa pasal bermasalah pada undang-undang yang terdiri dari 37 bab dan 624 pasal ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PC PMII Samarinda setidaknya menyoroti pada 3 (tiga) pasal yang berpotensi besar untuk terjadinya kriminalisasi dan pembungkaman ruang publik serta menurunkan kualitas demokrasi yang dijamin oleh konstitusi.
Pertama, Pada Pasal 218 tentang penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini selain sangatlah multitafsir yang tentunya akan mungkin dipahami berbeda terutama bagi aparat penegak hukum, juga kekhawatiran digunakan sebagai alat mengontrol serta membatasi suara kelompok– kelompok kritis yang dianggap ancaman terhadap pemerintah terkhususnya kepada Presiden dan Wakil Presiden;
Kedua, Pasal 240 tentang penghinaan terhadap Lembaga Negara, pada pasal ini dijelaskan bahwa setiap penghinaan yang ditujukan kepada lembaga negara dan pemerintah yang sah dapat diancam pidana tiga (3) tahun jika mengakibatkan kerusuhan di masyarakat.
Hal ini tentu menimbulkan kebingungan di masyarakat karena yang dilindungi seharusnya adalah individu, bukan lembaga. Lembaga tidak punya martabat untuk dilindungi, meskipun deliknya aduan, serta penghinaan berbeda
dengan kritik.
Tidak menutup kemungkinan pasal ini bisa menjadi pasal karet yang akan digunakan untuk membungkam kritik-kritik terhadap lembaga pemerintahan yang keliru dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Ketiga, Pasal 256 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang menjelaskan bahwa tanpa pemberitahuan kepada pihak berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum, dapat dipidana paling lama enam (6) bulan.
Ketentuan ini bermasalah karena pada prinsipnya menyampaikan pendapat adalah hak setiap orang yang dilindungi konstitusi. Sehingga, aksi unjuk rasa hanya
perlu pemberitahuan, bukan izin. Dan terganggunya kepentingan umum adalah hal yang tidak bisa terhindarkan.
Pada akhirnya pemerintah dan DPR semakin menunjukkan sikap anti kritiknya dengan adanya pasal tersebut di dalam KUHP yang baru disahkan.
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh LBH PC PMII Samarinda, kami menyatakan sikap tegas mendesak DPR RI untuk memperbaiki kembali KUHP yang baru saja disahkan serta mencabut pasal-pasal yang multitafsir dan mengancam demokrasi.
Sejalan dengan itu, melalui Sekretaris LBH PB PMII, Sahabat Fendy Ariyanto, juga memiliki sikap yang sama terkait pengesahan RKUHP ini menjadi undangundang.
Satu sisi apresiasi karena regulasi ini adalah produk anak bangsa yang sejak lama dinanti-nanti untuk upaya dekolonisasi, disisi yang lain dengan tegas menolak pasal-pasal bermasalah seperti yang telah disebutkan di atas.
Rahman Danan Nugroho, Ketua LBH PC PMII Kota Samarinda menegaskan bahwa KUHP ini adalah produk undang-undang dari DPR bersama Pemerintah, namun mengapa selalu mengundang polemik-polemik yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat.
Tentu akan lebih baik pasal-pasal yang sifatnya untuk
kepentingan masyarakat luas harus ada keterlibatan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) secara menyeluruh, bukan hanya para akademisi dan ahli pidana yang ikut merancang melainkan juga melibatkan pemangku kebijakan lain seperti praktisi dan LBH serta masyarakat secara luas, tidak hanya harus akademisi atau ahli, karena penyusunannya memerlukan perspektif lain terutama dalam menjunjung tinggi nilainilai hak asasi manusia.