spot_img
Minggu, Mei 25, 2025

Pokja 30 Menilai Perda 49 Tahun 2020 Mesti Direvisi

- Advertisement -

KALTIMNUSANTARA.COM, – Perda 49 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Penyaluran dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Keuangan Pemerintah Daerah kali ini mendapat kritikan keras dari Pokja 30.

Terutama pada poin pasal yang mengatur penyerapan aspirasi yang mengharuskan berada di angka minimal Rp2,5 Milliar.

Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo mengungkapkan kritik terhadap Gubernur Kaltim. Menurutnya ketika membahas anggaran untuk rakyat sangat rumit pemikiran gubernur, tetapi anggaran politik untuk dirinya sangat mudah.

“Kalo misalnya untuk dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, pintar dia ngitung. Tapi untuk publik,untuk rakyat, untuk konstitennya susah,” ucapnya.

Dirinya menilai setiap tempat, setiap daerah punya kebutuhan, punya keperluan yang berbeda. Tidak semua dianggap sama.

Dia berpendapat bahwa yang sedang diurus adalah Provins. Ada 10 Kabupaten/Kota. Bukan urus satu sekolahan anak SMA.
Olehnya itu apa yang dianggarkan apa yang diperlukan dan apa yang masyarakat butuhkan.

“Nah klo itu pembangunan dipatok, siapa yang bisa kelola. Khawatir nya begini, kalo keperluan nya hanya 200 ribu tapi harus menggunakan 2,5 m. Cara ngabisinnya gmna, akan mubazir, sia-sia dan menuju korupsi,” ucapnya.

Buyung sapaan akrabnya berpendapat APBD mesti dikelola dengan seimbang. Selesai program selesai juga uangnya. Jika selesai program masih ada sisanya menurutnya serapan buruk. Jika uangnya habis program belum selesai, menurutnya adalah korupsi.

Artinya Gubernur harus melihat keperluan tempat itu beda beda. Daerah yang tidak punya daratan tidak bisa dikasih motor, mesti diberikan perahu. Agar tepat sasaran.

“Jangan sampai Perda ini menghambat pembangunan. Harus direvisi. Harus sesuai keperluan,” ucapnya.

Orang yang duduk di pemerintahan hari ini menurutnya dibayar mahal oleh negara untuk berpikir. Menghabiskan anggaran secara benar saja tidak mampu. Kualitas tetap rendah. Namun tambah Buyung selalu meminta tambahan anggaran.
Izin

Berpikir untuk habisin secara benar saja tidak mampu, negara ini bayar mahal mereka. Kualitas tetap rendah. Habisin uang saja tidak bisa, tapi nambah.

Olehnya itu dirinya memberikan masukan agar tiap keputusan publik yang dibuat mesti melibatkan publik.

Karena selama ini tiap keputusan publik yang dibuat pemerintah tidak melibatkan publik. Selain itu setiap ada momentum seperti Musrembang dari tingkat Desa hingga Provinsi juga tidak melibatkan publik.

“Ya sudah ada tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda tapi tidak mewakili warga terdampak,” ucapnya.

Berita Terkait
- Advertisment -

Most Popular