spot_img
Sabtu, Mei 17, 2025

Apakah Negara Kuat di Asia Akan Tinggalkan AS Merapat ke Rusia-China?

- Advertisement -

KALTIMNUSANTARA.COM- Sejumlah negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, danĀ India mulai kasak-kusuk untuk memastikan posisi di antara kekuatan besar dunia.
Apakah negara-negara kuat di Asia mulai berniat meninggalkan Amerika Serikat merapat ke Rusia dan China?

Tanda-tanda kedekatan itu tercermin ketika Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mempertimbangkan hadir dalam acara normalisasi China-Jepang pada 29 September mendatang.

Menurut laporan Global Times, partisipasi itu dianggap sebagai upaya meningkatkan momentum pertemuan puncak antara Kishida dan Presiden China Xi Jinping.

Sementara itu, gelagat Korea Selatan merapat ke China terendus saat ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS, Nancy Pelosi, ke Negeri Ginseng. Saat tiba di bandara, ia merasa terhina gegara tak ada delegasi resmi yang menyambutnya, demikian dikutip Brooking.

Selain itu, Kantor Kepresidenan Korsel memberi tahu Pelosi bahwa Presiden Yoon Seok-yeol berlibur dan tak bisa bertemu secara langsung.

Beberapa hari setelah kunjungan Pelosi, Menteri Luar Negeri Korsel Park Jin melawat ke Beijing untuk bertemu dengan Menlu China. Tindakan ini disebut untuk menghindari konfrontasi dengan China usai lawatan pejabat Washington.

Melihat tindak-tanduk itu, pengamat politik internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Riefqi Muna, mengatakan kedua negara itu tak lantas mengalihkan kedekatan mereka ke China atau Rusia. Riefqie mengatakan Jepang dan Korsel tetap menjalin kedekatan dengan AS.

“Jepang maupun Korea Selatan tak akan meninggalkan atau menjauh dari AS,” kata Riefqi dikutip dari CNNIndonesia.com

Ia kemudian berujar, “Baik Jepang maupun Korea, keduanya merupakan aliansi militer AS yang mapan dengan latar belakang pembentukan aliansi yang berbeda.”

Jepang menjadi aliansi AS usai kekalahan Negeri Sakura dalam Perang Pasifik pada 1945. Ketika itu, Washington menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki.

Sementara itu, Korea Selatan menjadi sekutu AS melalui Kesepakatan Pertahanan Bersama atau Mutual Defence Treaty pada 1953. Washington juga membantu Seoul dalam Perang Korea melawan negara berideologi komunis, Korea Utara.

AS bahkan punya pangkalan militer di Korsel dan Jepang. Hingga kini tercatat 28.500 tentara Washington berada di Negeri Ginseng.

Di Jepang, tentara AS berjumlah sekitar 50 ribu personel. Mereka mayoritas berada di Okinawa.

Relasi Ekonomi yang Dinamis
Melihat hal itu, Riefqi menilai keliru menganggap kedua negara maju di Asia ini bakal merapat ke China.

“Sebenarnya tidak tepat dikatakan kalau Jepang maupun Korea Selatan mencoba lebih dekat dengan China. Namun, terdapat dinamika hubungan ekonomi yang dinamis dan terjadi interdependensi,” ujar pengamat LIPI itu.

Lebih lanjut Riefqi menerangkan, dari aspek industri semikonduktor yang memanas hubungan Korsel-China dan Jepang-China punya implikasi strategis bagi “teknologi perang” antara AS vs China.

Washington, dalam hal ini, memanfaatkan Taiwan untuk melawan Beijing. Namun, keadaan semakin kritis secara geopolitik usai Rusia menginvasi Ukraina.

“Kemudian tech-war [perang teknologi] ini semakin memanas, terutama setelah Presiden [AS] Joe Biden menandatangani undang-undang soal Chips dan Science Act pada 9 Agustus 2022,” kata Riefqi.

Begitu juga dengan upaya AS membentuk aliansi CHIP-4 untuk membendung semikonduktor China

Serupa, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Suzie Sudarman mengatakan Korsel dan Jepang akan tetap di pihak AS.

“Korsel kan sekutu. [Mereka] akan bantu Jepang melawan China dan flash point [perselisihan] dengan Korea Utara,” ujar Suzie.

Selain Korsel-Jepang, negara di Asia Selatan, India, juga disebut menunjukkan tanda-tanda merapat ke Rusia.

India Merapat ke Rusia?
New Delhi selama ini berselisih dengan Beijing karena masalah perbatasan negara, problem klasik yang tampak akan terus muncul. Namun, negara ini menunjukkan sinyal melirik ke Moskow.
India menjalin kerja sama ekonomi dengan Rusia, sekutu dekat China. Negara pimpinan Narendra Modi ini juga membeli minyak dari Moskow.

India meningkatkan pembelian minyak Rusia usai invasi, dengan memanfaatkan potongan harga

Minyak Rusia sebelumnya hanya menyumbang sekitar 0,2 persen di India. Sisanya mereka membeli dari negara seperti Irak, Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab

Apakah pembelian ini bisa menjadi tanda India juga merapat ke China melalui Rusia?

Suzie menegaskan bahwa India tetap akan bersama Negeri Paman Sam.

“Oportunis saja. India masih bersama AS di QUAD. Oportunis demi minyak murah Rusia. Dipikir India itu kawan padahal sulit diajak berteman,” ucap Suzie.

Senada, Riefqi juga menilai usaha India bukan sebagai upaya merapat ke Beijing.

“Saya kira persoalannya tidak sesederhana itu. Karena persaingan antar keduanya [India-China] cukup mendalam,” kata dia.

Riefqi menyoroti pembelian minyak New Delhi dari Rusia berkaitan dengan sejauh mana kedekatan India dan AS, melalui QUAD, terjalin.

“Tidak akan semudah itu berpengaruh kepada China,” tutur dia lagi.

Baginya, New Delhi memainkan perang diplomasi yang canggih.

Ia memaparkan secara tradisional India menjaga hubungan dengan Rusia. Namun, akhir-akhir ini mereka mengembangkan hubungan dengan AS melalui kerangka Indo-Pasifik.

“India bermain lebih seimbang dalam hubungan dengan Rusia, dan hubungan dengan AS,” imbuh Riefqi.

Namun, dia juga tak menampik rivalitas yang menguat di dua negara tersebut.

Di bidang kesehatan misalnya, China memproduksi vaksin buatan sendiri. India pun tak mau kalah turut membuat vaksin sendiri.

Perseteruan India-China semakin tampak di Samudra Hindia. Akhir Juli lalu, New Delhi meluncurkan kapal induk, INS Vikrant, yang bertujuan membungkam Beijing di perairan itu.

Beijing pun tampak khawatir. Media pemerintah China, Global Times, sampai-sampai memuat komentar pengamat bahwa kapal induk itu cuma berukuran medium. Sementara itu, kapal induk Beijing, Liaoning, merupakan armada besar.

Berita Terkait
- Advertisment -

Most Popular